Project Pena Murid Perkantas Jatim untuk Gerakan Injil Kerajaan-Nya
Oleh Victor Kurniawan
Sore itu dingin sekali karena hujan mengguyur kota Batu. Saat itu bangsal isolasi khusus untuk pasien Covid-19 di rumah sakit Baptis sedang sepi karena jadwal kunjungan perawat ke ruangan pasien belum tiba. Saat itu, aku sendirian dan diam di kamar isolasi yang dikhususkan untukku dengan perasaan yang mulai patah semangat. Aku harus jujur bahwa Covid-19 sudah menghancurkan mentalku.
Virus yang kecil dan renik ini, berhasil menyerang paru-paruku dan membuatku kesulitan bernafas. Sejujurnya situasi tersebut membuatku mulai berpikir mengenai kematian, dan itu membuatku mulai takut. Ada perasaan gentar dalam batinku. Saat kondisi seperti itu, tiba-tiba mataku terhenti pada salib yang terpampang di dinding rumah sakit. Hal yang wajar ada salib di dinding rumah sakit tersebut, sebab ini adalah rumah sakit Kristen.
Cukup lama mataku terhenti memandang salib tersebut. Salib yang kosong, tidak ada gambaran tubuh Yesus di atasnya. Salib yang biasa digunakan di dalam tradisi gereja Protestan. Salib yang dimaknai bahwa Yesus sudah bangkit dan menang atas kuasa maut. Sejujurnya memandangi salib membuatku lebih tenang, dan menolongku untuk berdoa, menyerahkan segenap takut dan khawatirku pada Tuhan.
Bagiku, peristiwa sore itu sangatlah unik. Salib menjadi sarana bagiku untuk kembali menjumpai pengharapan di tengah situasi berjalan diantara kehidupan dan kematian. Padahal salib pada masa Romawi tidak akan pernah dipahami sebagai simbol harapan. Malahan akan dimaknai sebagai simbol ketakutan, karena salib dipakai oleh penguasa Roma untuk menghukum mati para pejahat-penjahat besar dan pemberontak yang berbahaya. Suara makian, umpatan, dan jeritan merupakan hal yang lumrah dan kerap kali terdengar dari mulut orang yang disiksa di atas kayu salib.
Salib oleh penguasa Romawi digunakan alat penebar ketakutan dan alat untuk mengontrol masyarakat supaya tunduk mutlak pada penguasa. Kengerian salib membuat Cicero menyatakan bahwa ini merupakan hukuman yang kejam dan menjijikan, dan harus dihilangkan dari mata dan ingatan masyarakat Romawi.
Harapan Cicero ini sudah terwujud. Salib hari ini masih ada, tetapi tidak lagi menakutkan. Salib telah berubah makna menjadi simbol harapan. Salib yang begitu mengerikan berubah menjadi sesuatu yang menenangkan. Perubahan makna salib yang sangat ekstrem ini terjadi ketika Yesus memilih salib sebagai sarana dari penuntasan misi pelayanan-Nya. KematianNya di atas kayu salib adalah sebuah jalan untuk menghidupkan umat manusia, yang menurut Paulus, telah mati oleh karena kesalahannya. Ini merupakan hal yang unik. Kematian seorang anak manusia di atas salib, telah mengubah makna salib untuk selama-lamanya.
Hal tersebut dapat terjadi, karena Yesus, sosok anak manusia yang di salib tersebut bukanlah sosok yang biasa. Sejarah mencatat, ada begitu banyak sosok manusia yang pernah di salib atas perintah pemerintahan Romawi. Namun, mereka yang di salib sebelum Yesus hanya semakin menambahkan kengerian salib. Yesus berbeda, Ia, menurut kesaksian Yohanes, adalah firman yang menjadi manusia, ia adalah Allah yang merendahkan diri menjadi manusia, Ia adalah sang terang yang berkuasa. Oleh sebab itu, tak heranlah ketika salib yang penuh kegelapan dan kengerian berubah menjadi penuh cinta dan pengharapan.
Sore itu, salib yang penuh cinta dan pengharapan yang menghiasi dinding rumah sakit Baptis telah menjadi alat bagiku untuk mengingat ada pengharapan di dalam Yesus. Kematian atau kehidupan adalah sebuah keuntungan di dalam Dia.
( Victor Kurniawan, saat ini melayani sebagai staf mahasiswa di Perkantas Malang, Kak Victor demikian dia biasa disapa , salah tsatu Pembina Pena Murid dan mendampingi adik-adik serta memberi masukan untuk hasil tulisan-tulisan mereka, terutama yang akan di masukkan ke Rubrik Student Writing)
