more"/> more">
Student Writing - The Trials
Last Updated : Oct 09, 2021  |  Created by : Administrator  |  434 views

Ni Putu Zefanya Putri Gracia Hartawan

“Selamat malam, dengan Ibu Margareta?” “Iya, dengan saya sendiri.” “Maaf Ibu, saya dari RSUP Sanglah, Denpasar ingin menginformasikan keadaan suami anda, Bapak Made, sedang dalam kondisi kritis. Saat ini para tenaga medis sedang berusaha untuk menolong suami anda.”

Ku lihat raut wajah mama berubah drastis sejak menerima telepon entah dari siapa. Mama duduk di sofa ruang tamu ketika berbicara dengan suara di seberang telepon. Ia mengusap-usap keningnya dan mengernyitkan dahi. Sesekali ia bangun dan berjalan mondar-mandir seraya memegang dadanya yang berdegup kencang. Napasnya berubah tak karuan dan ia mulai berkeringat. Tidak tega melihat keadaan mama, aku memilih untuk berhenti menyeruput mi kuah yang sedang kusantap, beranjak dari meja makan, dan berjalan menghampiri mama. Aku mengusap pundaknya dengan lembut berharap mama bisa kembali tenang. Telepon ditutup, mama kemudian melihatku dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dan seketika tangisan mama pecah lalu memelukku erat. Beberapa menit kemudian, mama melepas pelukannya, menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Kemudian mengajakku untuk kembali duduk di sofa ruang tamu.

“Papa dalam kondisi kritis. Mama takut kalau papa harus pergi,” ujarnya lirih. “Kedepannya juga pasti akan sulit tanpa papa. Apalagi dalam situasi pandemi seperti ini. Mau tidak mau, mama harus kerja lebih keras lagi. Selain menggantikan papa untuk jaga warung dan jualan ayam betutu, mungkin mama bisa buka usaha jahit? hitung-hitung menambah pemasukan juga.” Mama memegang punggung tanganku. Aku bisa merasakan beban yang ada di pundak mama. Begitu berat sehingga tidak bisa dipikul sendiri. Mama membutuhkan papa. “Tenang ma, aku bisa bantu mama lewat penghasilanku dari online shop. Bisa bantu bayar kuliahku dan tagihan-tagihan lain. Bagaimana kalau sekarang kita berdoa untuk papa?” Mama mengangguk kemudian meraih kedua tanganku dan menaikan doa supaya papa bisa melewati masa kritis.

Tririiing…ponsel mama berbunyi tepat setelah kata “Amin” diucapkan. Mama mengangkat telepon dengan harap-harap cemas. “Ini dari rumah sakit,” bisiknya. Jantungku berdebar, tanganku mengepal, dan berusaha mengatur napas. Tiba-tiba mama nampak pucat. Tangannya menutup mulutunya, wajahnya jelas menunjukkan raut tidak percaya, dan air matanya mulai menetes. Ia berusaha menyelesaikan percakapan dengan pihak rumah sakit secepat mungkin.

“Papa meninggal,” mama memandangku dengan tatapan lesu. “Papa akan dimakamkan sesuai protokol. Pihak rumah sakit nanti akan meghubungi kita lagi bagaimana proses selanjutnya.” Mendengar kalimat itu akupun diliputi perasaan yang begitu pilu. Perlahan air mataku mulai mengalir dan membasahi pipiku.

Dadaku terasa sesak dan isak tangisku bertambah keras. Mama memelukku sambil berkata, “Ini berarti Tuhan Yesus lebih sayang papa. Sekarang papa sudah tenang di Surga. Memang keadaan kita sekarang sulit tanpa papa, tapi mama yakin kita bisa melewatinya. Tuhan pasti berkati usaha kita.”

Entah kenapa kata-kata mama mengingatkanku pada Ayub 2:10. Memang, keaadan buruk yang Tuhan ijinkan terjadi harus siap kita terima dan hadapi dengan iman. Apapun yang terjadi biarlah selalu kuingat pujian yang kudengar pagi tadi, Tuhan Yesus baik..untuk selama-lamanya Tuhan Yesus baik.

(* Saat ini Zefanya menempuh studi semester 1 di Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Sastra Inggris)


Subscribe To Our Newsletter
Subscribe to catch our monthly newsletter, latest updates, and upcoming events
RELATED UPDATES