more"/> more">
Oleh Yusuf Deswanto, M.Div*)
Ir. Soekarno pernah berkata, “Bacalah buku sebanyak-banyaknya, karena dari situlah engkau akan menemukan banyak kawan bicara, banyak guru, dan banyak pengalaman.” Konon Mohammad Hatta, proklamator yang lain juga pernah berujar, “Aku rela dipenjara, asal bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.” Ungkapan dua pemimpin sekaligus pendiri bangsa ini memberi gambaran bahwa para pendiri bangsa kita sangat dekat dengan buku. Ironisnya, di antara peristiwa penjarahan rumah para wakil rakyat (anggota DPR RI) beberapa waktu yang lalu, tak tergambar sedikitpun budaya literasi yang kuat dalam kehidupan wakil rakyat. Di balik barang-barang mewah milik anggota dewan yang dijarah, tidak ditemukan jejak-jejak buku yang mengisi ruang privasi mereka. Tak heran, alih-alih memberikan pemikiran dan wacana inspiratif bagi masyarakat, diksi dan ujaran mereka lebih banyak dijejali cacian.
Realitas di atas tak urung akan menjadi bagian dari kehidupan pemimpin Kristen masa depan, jika generasi muda Kristen masa kini gagal mewarisi tradisi gemilang the people of the book. Umat yang mencintai buku (termasuk kitab suci) akan berubah menjadi umat yang lebih cinta gawai? Pada titik krusial inilah kita harus kembali menakar dan menantang gerak pemuridan kita. Bagaimana gerak dan proses pemuridan yang dikerjakan Perkantas mampu relevan dengan zaman digital, namun tetap “konservatif” mewariskan praktik dan tradisi literasi?
Ulangan 6:6-9 sebagai Akar Pemuridan dan Pembentukan Budaya Literasi Israel
Ulangan 6:6-9, yang dikenal sebagai Shema (dari kata Ibrani artinya “dengarlah”) adalah akar dari pemuridan dalam keluarga dan pembentukan tradisi literasi di Israel kuno, meskipun literasi tidak secara langsung menjadi fokus perintah ini. Ayat-ayat ini tidak hanya memerintahkan umat Israel untuk mengingat dan mengajarkan hukum-hukum Tuhan kepada generasi berikutnya, tetapi juga untuk menuliskan dan menempatkannya di ruang publik dan pribadi. “Tuliskanlah itu pada tiang-tiang pintu rumahmu dan pada pintu-pintu gerbangmu” (ay. 9) adalah perintah eksplisit untuk menulis. “Ikatlah itu sebagai tanda pada tanganmu dan jadikanlah itu lambang di dahimu” (ay. 8) secara umum memang dipahami secara metaforis, namun dalam tradisi Yahudi ayat ini melahirkan praktik pembuatan Tefilin, yaitu gulungan perkamen kecil berisi ayat-ayat Shema yang diikatkan pada tangan dan dahi saat doa. Pembuatan gulungan-gulungan ini membutuhkan keterampilan menulis yang presisi.
Shema menjadikan literasi sebagai alat sentral dalam “pemuridan” dan pewarisan iman di tengah keluarga dan komunitas Israel. Tujuannya agar mereka bisa secara aktif berinteraksi dengan firman Tuhan (pemuridan). Ulangan 6:7 memuat pesan pewarisan antargenerasi yang memerintahkan orang tua untuk “mengajarkannya berulang-ulang” kepada anak-anak mereka. Ini menciptakan budaya di mana teks suci menjadi inti dari pembelajaran di rumah, yang merupakan landasan bagi pemuridan dan sekaligus praktik pembangunan literasi di dalamnya. Selain itu, perintah untuk menulis di tiang pintu (Mezuzah) menjadikan tulisan suci bagian integral dari lingkungan keluarga. Ini menjadikan teks tidak hanya sebagai subjek studi, tetapi juga sebagai pengingat visual yang konstan, yang mendorong pengenalan huruf dan kata-kata sejak usia dini.
Pada dasarnya, Shema bukan hanya sebuah deklarasi iman, tetapi juga sebuah “program pemuridan sekaligus pendidikan literasi” Israel. Shema telah menjadikan teks suci sebagai pusat kehidupan dan mendorong literasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan spiritual. Hal ini telah meletakkan dasar bagi tradisi Yahudi di kemudian hari yang sangat menghargai studi dan pengajaran Taurat, yang pada gilirannya mendorong tingginya tingkat literasi di antara komunitas Yahudi.
Alumni Perkantas: Komunitas yang Memuridkan dan Membangun Literasi?
Gerak pemuridan melalui Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) adalah warisan strategis Perkantas yang harus terus diperkuat dan dikembangkan, agar tetap relevan dalam membangun literasi generasi muda Kristen. Di sisi lain, harus diingat bahwa pengembangan pemuridan yang relevan di tengah zaman digital tidak boleh menggeser proses pembangunan budaya membaca dan menulis di dalam pemuridan itu sendiri. Kita hidup di era yang dipenuhi pesan singkat, update instan, dan tren yang cepat berlalu. Banyak siswa dan mahasiswa sekarang lebih senang menelusuri media sosial daripada meluangkan waktu membaca teks yang bermakna. Menulis yang dulu menuntut ketajaman berpikir kini digantikan dengan komentar singkat atau sekadar emoji. Karena itu, meski teknologi digital mendorong kita untuk membangun pemuridan yang lebih relevan, kebiasaan membaca kritis dan mendalam serta menulis reflektif justru tidak boleh terkikis.
Kembali kepada budaya literasi yang terbangun dari perintah Allah dalam Ulangan 6:6-9, pemuridan sejati digerakkan sedini mungkin dari keluarga. Keberadaan alumni Perkantas yang sudah berusia lebih dari 50 tahun seharusnya mampu menghadirkan keluarga-keluarga Kristen yang berperan dalam pemuridan (family discipleship), dan sekaligus pembangunan budaya membaca dan menulis. Pemuridan seharusnya menemukan relevansinya ketika firman Allah menjadi napas dalam percakapan rumah tangga, dalam keputusan-keputusan kecil maupun besar, serta dalam teladan hidup orang tua kepada anak-anaknya.
Keluarga alumni Perkantas memiliki keunikan: mereka dibentuk oleh tradisi persekutuan, doa, dan pembelajaran firman saat masih di kampus. Kini, alumni dipanggil untuk mentransfer nilai-nilai itu kepada generasi berikutnya melalui pola hidup sehari-hari. Ulangan 6 mengingatkan bahwa firman itu harus dibicarakan “waktu engkau duduk di rumahmu, waktu engkau sedang dalam perjalanan, waktu engkau berbaring dan bangun.” Artinya, ruang keluarga, meja makan, perjalanan bersama, bahkan waktu istirahat menjadi arena pemuridan. Dengan demikian, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi menjadi “pusat formasi spiritualitas” yang membentuk karakter dan meneguhkan iman anak-anak.
Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah praktik pemuridan keluarga dan pembentukan budaya literasi sudah benar-benar dipraktikkan dalam keluarga alumni Perkantas secara masif? Kita tidak punya data untuk menjawab pertanyaan reflektif ini. Setidaknya di lingkar pelayanan terdekat dan di tengah keluarga kami sendiri, praktik pemuridan keluarga masih jauh dari kata efektif. Sebagai staf yang melayani alumni sepuluh tahun terakhir, saya harus mengakui bahwa membangun atmosfir pemuridan keluarga yang mengarah kepada pembangunan budaya membaca dan menulis sangat sulit dipraktikkan, setidaknya di tengah keluarga kami. Kami sebagai orang tua dan juga anak-anak seringkali lebih asyik menghadapi gawainya masing-masing daripada membaca Alkitab dan buku-buku Kristen, di jam-jam santai kami. Bagaimana dengan ruang keluarga Anda? Apakah masih banyak alumni Perkantas mengkonservasi idiom the people of the book, dan berkontribusi bagi lahirnya pemimpin bangsa mampu memberikan wacana kebenaran yang inspiratif bagi bangsa ini? (*Penulis adalah Staf Alumni Perkantas Jember - saat ini sebagai Associate Staf dan melayani di Kementerian Agama Kab. Jember sebagai Penyuluh Kristen)
Oleh Yusuf Deswanto, M.Div*)
Ir. Soekarno pernah berkata, “Bacalah buku sebanyak-banyaknya, karena dari situlah engkau akan menemukan banyak kawan bicara, banyak guru, dan banyak pengalaman.” Konon Mohammad Hatta, proklamator yang lain juga pernah berujar, “Aku rela dipenjara, asal bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.” Ungkapan dua pemimpin sekaligus pendiri bangsa ini memberi gambaran bahwa para pendiri bangsa kita sangat dekat dengan buku. Ironisnya, di antara peristiwa penjarahan rumah para wakil rakyat (anggota DPR RI) beberapa waktu yang lalu, tak tergambar sedikitpun budaya literasi yang kuat dalam kehidupan wakil rakyat. Di balik barang-barang mewah milik anggota dewan yang dijarah, tidak ditemukan jejak-jejak buku yang mengisi ruang privasi mereka. Tak heran, alih-alih memberikan pemikiran dan wacana inspiratif bagi masyarakat, diksi dan ujaran mereka lebih banyak dijejali cacian.
Realitas di atas tak urung akan menjadi bagian dari kehidupan pemimpin Kristen masa depan, jika generasi muda Kristen masa kini gagal mewarisi tradisi gemilang the people of the book. Umat yang mencintai buku (termasuk kitab suci) akan berubah menjadi umat yang lebih cinta gawai? Pada titik krusial inilah kita harus kembali menakar dan menantang gerak pemuridan kita. Bagaimana gerak dan proses pemuridan yang dikerjakan Perkantas mampu relevan dengan zaman digital, namun tetap “konservatif” mewariskan praktik dan tradisi literasi?
Ulangan 6:6-9 sebagai Akar Pemuridan dan Pembentukan Budaya Literasi Israel
Ulangan 6:6-9, yang dikenal sebagai Shema (dari kata Ibrani artinya “dengarlah”) adalah akar dari pemuridan dalam keluarga dan pembentukan tradisi literasi di Israel kuno, meskipun literasi tidak secara langsung menjadi fokus perintah ini. Ayat-ayat ini tidak hanya memerintahkan umat Israel untuk mengingat dan mengajarkan hukum-hukum Tuhan kepada generasi berikutnya, tetapi juga untuk menuliskan dan menempatkannya di ruang publik dan pribadi. “Tuliskanlah itu pada tiang-tiang pintu rumahmu dan pada pintu-pintu gerbangmu” (ay. 9) adalah perintah eksplisit untuk menulis. “Ikatlah itu sebagai tanda pada tanganmu dan jadikanlah itu lambang di dahimu” (ay. 8) secara umum memang dipahami secara metaforis, namun dalam tradisi Yahudi ayat ini melahirkan praktik pembuatan Tefilin, yaitu gulungan perkamen kecil berisi ayat-ayat Shema yang diikatkan pada tangan dan dahi saat doa. Pembuatan gulungan-gulungan ini membutuhkan keterampilan menulis yang presisi.
Shema menjadikan literasi sebagai alat sentral dalam “pemuridan” dan pewarisan iman di tengah keluarga dan komunitas Israel. Tujuannya agar mereka bisa secara aktif berinteraksi dengan firman Tuhan (pemuridan). Ulangan 6:7 memuat pesan pewarisan antargenerasi yang memerintahkan orang tua untuk “mengajarkannya berulang-ulang” kepada anak-anak mereka. Ini menciptakan budaya di mana teks suci menjadi inti dari pembelajaran di rumah, yang merupakan landasan bagi pemuridan dan sekaligus praktik pembangunan literasi di dalamnya. Selain itu, perintah untuk menulis di tiang pintu (Mezuzah) menjadikan tulisan suci bagian integral dari lingkungan keluarga. Ini menjadikan teks tidak hanya sebagai subjek studi, tetapi juga sebagai pengingat visual yang konstan, yang mendorong pengenalan huruf dan kata-kata sejak usia dini.
Pada dasarnya, Shema bukan hanya sebuah deklarasi iman, tetapi juga sebuah “program pemuridan sekaligus pendidikan literasi” Israel. Shema telah menjadikan teks suci sebagai pusat kehidupan dan mendorong literasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan spiritual. Hal ini telah meletakkan dasar bagi tradisi Yahudi di kemudian hari yang sangat menghargai studi dan pengajaran Taurat, yang pada gilirannya mendorong tingginya tingkat literasi di antara komunitas Yahudi.
Alumni Perkantas: Komunitas yang Memuridkan dan Membangun Literasi?
Gerak pemuridan melalui Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) adalah warisan strategis Perkantas yang harus terus diperkuat dan dikembangkan, agar tetap relevan dalam membangun literasi generasi muda Kristen. Di sisi lain, harus diingat bahwa pengembangan pemuridan yang relevan di tengah zaman digital tidak boleh menggeser proses pembangunan budaya membaca dan menulis di dalam pemuridan itu sendiri. Kita hidup di era yang dipenuhi pesan singkat, update instan, dan tren yang cepat berlalu. Banyak siswa dan mahasiswa sekarang lebih senang menelusuri media sosial daripada meluangkan waktu membaca teks yang bermakna. Menulis yang dulu menuntut ketajaman berpikir kini digantikan dengan komentar singkat atau sekadar emoji. Karena itu, meski teknologi digital mendorong kita untuk membangun pemuridan yang lebih relevan, kebiasaan membaca kritis dan mendalam serta menulis reflektif justru tidak boleh terkikis.
Kembali kepada budaya literasi yang terbangun dari perintah Allah dalam Ulangan 6:6-9, pemuridan sejati digerakkan sedini mungkin dari keluarga. Keberadaan alumni Perkantas yang sudah berusia lebih dari 50 tahun seharusnya mampu menghadirkan keluarga-keluarga Kristen yang berperan dalam pemuridan (family discipleship), dan sekaligus pembangunan budaya membaca dan menulis. Pemuridan seharusnya menemukan relevansinya ketika firman Allah menjadi napas dalam percakapan rumah tangga, dalam keputusan-keputusan kecil maupun besar, serta dalam teladan hidup orang tua kepada anak-anaknya.
Keluarga alumni Perkantas memiliki keunikan: mereka dibentuk oleh tradisi persekutuan, doa, dan pembelajaran firman saat masih di kampus. Kini, alumni dipanggil untuk mentransfer nilai-nilai itu kepada generasi berikutnya melalui pola hidup sehari-hari. Ulangan 6 mengingatkan bahwa firman itu harus dibicarakan “waktu engkau duduk di rumahmu, waktu engkau sedang dalam perjalanan, waktu engkau berbaring dan bangun.” Artinya, ruang keluarga, meja makan, perjalanan bersama, bahkan waktu istirahat menjadi arena pemuridan. Dengan demikian, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi menjadi “pusat formasi spiritualitas” yang membentuk karakter dan meneguhkan iman anak-anak.
Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah praktik pemuridan keluarga dan pembentukan budaya literasi sudah benar-benar dipraktikkan dalam keluarga alumni Perkantas secara masif? Kita tidak punya data untuk menjawab pertanyaan reflektif ini. Setidaknya di lingkar pelayanan terdekat dan di tengah keluarga kami sendiri, praktik pemuridan keluarga masih jauh dari kata efektif. Sebagai staf yang melayani alumni sepuluh tahun terakhir, saya harus mengakui bahwa membangun atmosfir pemuridan keluarga yang mengarah kepada pembangunan budaya membaca dan menulis sangat sulit dipraktikkan, setidaknya di tengah keluarga kami. Kami sebagai orang tua dan juga anak-anak seringkali lebih asyik menghadapi gawainya masing-masing daripada membaca Alkitab dan buku-buku Kristen, di jam-jam santai kami. Bagaimana dengan ruang keluarga Anda? Apakah masih banyak alumni Perkantas mengkonservasi idiom the people of the book, dan berkontribusi bagi lahirnya pemimpin bangsa mampu memberikan wacana kebenaran yang inspiratif bagi bangsa ini? (*Penulis adalah Staf Alumni Perkantas Jember - saat ini sebagai Associate Staf dan melayani di Kementerian Agama Kab. Jember sebagai Penyuluh Kristen)